Mengenang Jaap Erkelens 1939-2023

Oleh Harry Poeze

Saya terenyuh ketika mendengar kabar Jaap telah berpulang. Sepanjang masa tugasnya sebagai perwakilan KITLV di Jakarta sejak 1974 hingga 2003, juga setelah masa tugasnya berakhir, Jaap tak pernah terpisahkan dari janggut dan juga cangklongnya. Keduanya mencirikan penampilan dan jati dirinya yang seolah-olah menegaskan bahwa usia dan waktu tidaklah berdampak baginya. Namun, pada 30 September lalu, tibalah Jaap di ujung waktu dan meninggalkan duka pada keluarga dan kawan.

Jaap ditakdirkan untuk senantiasa terpaut dengan KITLV. Terlahir sebagai anak dari seorang guru yang tengah menjalankan misi penginjilan di Soemba, sepertinya bukanlah suatu kebetulan bahwa Jaap kelak kembali ke negeri kelahirannya itu. Sebelum 1974, ia menamatkan kuliah di jurusan Sejarah Vrije Universiteit Amsterdam dan bekerja dalam sebuah proyek untuk menerbitkan sumber-sumber sejarah ihwal kebijakan ekonomi kolonial. Syahdan, ia pun diberi jabatan di kantor perwakilan KITLV di Jakarta. Sejak berdirinya pada tahun 1851, KITLV memegang teguh tradisi panjang penelitian yang lekat dengan dan diarahkan guna menyokong otoritas kolonial. Namun, selepas tahun 1950, KITLV berikut program-programnya meredup. KITLV baru bisa kembali melihat asa segera setelah diambil alih Profesor Teeuw dan Uhlenbeck. Pada 1968, Teeuw mulai menjalin kesepakatan dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang kemudian membuka peluang dipekerjakannya dua perwakilan dari Belanda di Indonesia. Pada 1969, gelombang pertama perwakilan tersebut tiba di Jakarta dan ditugasi pekerjaan untuk menerjemahkan, menerbitkan naskah-naskah berbahasa Belanda, dan mengakuisisi serta membuat dokumentasi. Mereka juga diberi tugas untuk menjalankan kegiatan kerja sama. Proses akuisisi tersebut teramat penting dan sarat hasil yang tampak pada terkirimnya sebanyak 90.000 judul buku antara tahun 1969 dan 1993 ke Leiden. Tahun-tahun awal KITLV di Jakarta bukanlah tahun-tahun yang mudah. Lima tahun pertama sarat dengan konflik yang bisa sangat personal dan berujung pada pemberhentian pegawai. Resink dan Vredenbregt yang teramat berpengaruh dalam segala urusan KITLV memainkan peran yang tidak elok. Vredenbregt bahkan sampai menulis sebuah novel yang mencoreng wajah KITLV Jakarta. Sementara, Jaap tetap bisa menjaga jarak dari segala kepelikan tersebut.

Pada 1977, tibalah masa ketika Jaap menjadi satu-satunya kepala kantor KITLV Jakarta. Tugas pertamanya adalah mengatur akuisisi barang cetakan ke Leiden. Adalah pekerjaan yang teramat berat untuk mengumpulkan buku-buku yang telah lama hilang, yang pernah diterbitkan antara tahun 1940 dan awal 1960an. Namun, Jaap adalah seorang pecinta buku sekaligus pemburu. Kala ditanya perihal satu buku tertentu, seperti yang kerap saya lakukan dari Leiden tempat saya bekerja, ia akan dengan gigih mencarinya dan lalu merasa teramat puas ketika berhasil menemukan buku tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya ia telah turut berkontribusi dalam melestarikan warisan penting Indonesia. Secara khusus, ia tampak sangat puas ketika suatu waktu ia berhasil menemukan manuskrip-manuskrip lusuh yang memuat risalah-risalah Islam yang ditulis dalam aksara Arab setempat. Jaap juga gemar mengumpulkan roman-roman picisan dalam jumlah ratusan. Roman-roman picisan itu semula dipandang remeh oleh para sarjana Belanda, apalagi untuk dikoleksi oleh perpustakaan. Namun, seiring waktu, roman-roman picisan itu menjadi sumber penting bagi banyak penelitian, baik dari segi sastra, budaya, sosiologis, maupun politik. Jaap berkeyakinan bahwa barang-barang cetakan yang rapuh tersebut perlu sesegera mungkin diselamatkan.

Saya memahami keyakinannya tersebut saat saya dihadapkan pada pengalaman serupa. Pada 1980, ketika tengah melakukan penelitian di Yogyakarta, saya mengunjungi Perpustakaan Wilayah di sana. Di satu ruangan tak ber-AC, yang kerap dimasuki baik oleh orang maupun aneka serangga, tersimpanlah berbagai surat kabar dan terbitan berkala di Jawa yang dicetak antara Juli 1947 dan Desember 1948. Ruangan itulah satu-satunya tempat yang memuat harta karun bagi para sejarawan yang tengah mengkaji tentang Revolusi Indonesia. Saya menghabiskan beberapa minggu di sana, tentu saja waktu yang teramat pendek untuk bisa menjelajahi semua terbitan tersebut. Saya memusatkan perhatian saya pada koran-koran yang diterbitkan oleh para pengikut Tan Malaka, yang memang hanya bisa ditemukan di perpustakan tersebut, dan tidak di tempat yang lain. Saya ingin mengalihwahanakan sumber-sumber itu ke dalam format film. Namun, sebagai peneliti independen, hal tersebut muskil akibat kendala organisasi dan juga finansial. Saya pun lekas mengadu pada Jaap dan bertanya apakah ia mungkin bisa membantu. Jaap memberi solusi. Syahdan, ia mengatur agar koran-koran tersebut bisa dialihwahanakan dengan menyisihkan dana dari anggaran yang semestinya dipakai untuk mengalihwahanakan publikasi-publikasi berbahasa Belanda ke dalam format film.

Tak berhenti di sana, ia pun mengurus segala keperluan logistik yang juga tidak mudah. Alhasil, terselamatkanlah warisan Indonesia yang teramat penting itu. Ketika pada 1986 saya mengunjungi kembali perpustakaan itu, koleksi koran dan terbitan berkala antara tahun 1947 dan 1948 telah lenyap, dan tidak ada yang mau memberi tahu apa yang terjadi pada koleksi penting tersebut. Nyaris saja. Kenyarisan serupa tak jarang terjadi di kurun tahun 1980an. Dengan demikian, ancaman kehilangan sumber penting pun bisa sebanyak mungkin dihindari. Jaap juga bisa dengan leluasa berkegiatan di Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional di Jakarta. Karena kerendahan hati dan sifat baiknya, ia menjadi pengunjung tetap di kedua tempat tersebut dan diizinkan untuk berlama-lama di antara tumpukan arsip. Tentu saja kemahirannya berbahasa Belanda menjadi teramat dihargai. Kegiatan teristimewanya di tempat itu adalah menelisik ihwal Java Instituut yang terletak di Solo dan Museum Sonobudoyo. Semenjak 1950, nasib Java Instituut dan Museum Sonobudoyo berada di ujung tanduk. Upaya bersama antara KITLV dan Museum Sonobudoyo, disokong oleh Kedutaan Besar Belanda, mengubah keadaan dan menjadikan arsip-arsip di kedua tempat tersebut menjadi mudah diakses—menyajikan aneka sumber pengetahuan ihwal budaya dan bahasa Jawa.

Jaap juga mengurusi segala macam buku tentang segala macam bidang. Sebagian besar di antaranya adalah terjemahan dari Bahasa Belanda yang dicetak bersama KITLV Press di Leiden, namun banyak dipasarkan dan diterbitkan oleh para penerbit Indonesia. Meskipun pekerjaan tersebut adakalanya menjadi teramat berat dan menyita waktu, Jaap tetap merasa bertanggung jawab untuk membaca dan menyunting buku-buku tersebut sebelum naik cetak. Jaap juga punya ketertarikan akan foto dan gambar. Ia menyusun tiga fotobiografi yang dipersembahkan untuk Sukarno, Hatta, dan Sjahrir, disertai dengan berbagai tulisan dari para sarjana seperti Bob Hering, Deliar Noer, dan Rosihan Anwar.

Kegiatan lainnya yang juga menarik namun tidak begitu tersoroti adalah keterlibatan Jaap dengan kelompok anti-Suharto dan para Tapol (Tahanan Politik) yang baru dibebaskan dari pengasingan di Pulau Buru. Mereka diawasi secara ketat dan tak diperbolehkan bekerja di kantor-kantor pemerintah. Jaap merasa terdorong untuk mengumpulkan publikasi, pamflet, spanduk, selebaran, dan pelbagai jenis ekspresi diri lainnya dari para mantan Tapol tersebut. Ia lalu menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok tersebut dan memberi mereka sokongan lewat pekerjaan menyunting, menerjemahkan, atau menerbitkan buku. Alhasil, ia pun meraih kepercayaan besar. Sempat pula ia turut membantu Pramoedya dan adiknya Koesalah untuk mencari penerbit bagi tulisan-tulisan mereka. Keterlibatan Jaap menjadi teramat dalam. Ketika Pramoedya memerlukan data untuk novel-novel sejarah yang tengah ditulisnya akan tetapi data-data tersebut tak pernah bisa ia peroleh karena ia tentu saja tidak diizinkan untuk melakukan riset di perpustakaan dan arsip pemerintah, Jaap memberi solusi. Jaap meminta Pramoedya untuk mencatat segala keperluannya dan lalu segera mencarikan dan mengumpulkan segala data yang diinginkan Pramoedya. Bukti dedikasi Jaap nyata; terbukti dari koleksi arsip berbagai jenis barang cetakan ‘subversif’ yang kini tersimpan di IISG di kota Amsterdam. Jika ditumpuk, barang cetakan tersebut mencapai tinggi 1,12 meter. Kegiatannya ini selain penting juga sarat risiko. Sebagai akibatnya, Dewan KITLV memilih untuk memalingkan muka, atau memang tak pernah mau tahu menahu tentangnya. Pustakawan KITLV di Leiden pun merasa kikuk dengan segala barang cetakan subversif tersebut, meskipun cetakan tersebut terbuka bagi siapapun yang hendak meminjamnya. Konon, sang pustakawan mengunci rapat koleksi paling berbahaya di laci meja kerjanya. Setiap kali izin kerja Jaap menjelang kedaluwarsa, keresahan kerap timbul.

Pada 2003, Jaap pensiun. Secara perlahan, timbul perselisihan antara Jaap dan Dewan KITLV yang biasanya berhulu pada ihwal kebijakan dan prioritas. Dewan KITLV bersikeras agar Jaap lebih ‘terbuka’ dalam peran diplomatiknya. Sementara Jaap berpandangan bahwa ia bekerja di akar rumput.

Setelah pensiun, Jaap terlibat aktif dalam sejumlah proyek, salah satunya adalah inventarisasi publikasi subversif dan arsip J.W. Schoorl, yang adalah profesor di Vrije Universiteit Amsterdam yang juga pernah menjabat sebagai kepala KITLV. Ketertarikan Jaap pada teater musik diejawantahkannya dalam koleksi besar yang mencakup dokumen-dokumen dan piringan hitam kelompok teater Dardanella, bagian dari Komedi Stamboel. Dari koleksi tersebut, terbitlah sebuah buku berjudul Dardanella: Perintis teater Indonesia modern: Duta kesenian Indonesia melanglang buana (Jakarta: Kompas, 2022). Dengan ini, ia memungkasi misinya walaupun penerokaannya atas Dardanella, serta para bintangnya, yakni Dewi Dja dan Miss Riboet, terus berlanjut. Buku Dardanella yang ditulisnya itu, yang terbit ketika Jaap masih hidup, adalah wujud persembahan atas dedikasi sepanjang hidupnya.

Jaap berpulang dan meninggalkan seorang istri, Mariëtte, dan kedua anaknya Tamara dan Bart, serta kerabat.

No Comments

Post A Comment